IKUTI WEBINAR KEPEMILUAN - MAHASISWA BICARA PEMILU BERKUALITAS - 15 OKTOBER 2025 | Selamat Datang di Website KPU Kabupaten Sragen

Publikasi

Opini

Oleh:  MH. Isnaeni, S.Pd., Gr. Anggota KPU Kabupaten Sragen   Peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ setiap tahun tidak hanya dapat dimaknai sebagai tradisi keagamaan yang bersifat ritualistik, tetapi juga sebagai momentum spiritual untuk merefleksikan dan menghidupkan kembali keteladanan Rasulullah. Ajaran-ajaran yang beliau wariskan, seperti amanah, kejujuran, keadilan, serta semangat pelayanan kepada umat, sejatinya merupakan fondasi moral yang sangat penting untuk mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks demokrasi kontemporer, nilai-nilai tersebut menemukan relevansinya secara nyata dalam praktik penyelenggaraan Pemilu yang menjunjung tinggi integritas. Di sisi lain, landasan normatif mengenai prinsip integritas penyelenggara Pemilu telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Regulasi ini, khususnya Pasal 3, memuat asas-asas fundamental seperti independensi, imparsialitas, kepastian hukum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi. Apabila dikaji lebih mendalam, prinsip-prinsip ini sejatinya merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai universal yang telah dipraktikkan Nabi Muhammad ﷺ dalam membangun tatanan sosial-politik di masyarakat Arab pada zamannya. Dengan demikian, perayaan Maulid Nabi tidak hanya layak dipahami sebagai peringatan kelahiran seorang tokoh agung, tetapi juga sebagai panggilan moral bagi umat Islam, khususnya penyelenggara Pemilu, untuk meneladani spirit kepemimpinan Rasulullah. Menjalankan amanah demokrasi modern dengan berpegang pada kejujuran, keadilan, dan akuntabilitas publik sesungguhnya adalah wujud nyata membumikan nilai-nilai kenabian dalam kehidupan politik masa kini.   AMANAH SEBAGAI FONDASI DEMOKRASI Sejak usia muda, Nabi Muhammad ﷺ telah dikenal luas sebagai pribadi yang dapat dipercaya. Julukan Al-Amin yang disematkan masyarakat Quraisy lahir dari konsistensinya menjaga amanah, sekecil apa pun bentuknya. Reputasi itu menjadi bukti bahwa integritas bukan hanya nilai pribadi, melainkan juga modal sosial yang menopang legitimasi seorang pemimpin. Dalam konteks kepemiluan, konsep amanah tersebut menemukan makna yang sangat relevan. Suara rakyat adalah hak konstitusional yang bersifat sakral, sehingga penyelenggara Pemilu memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memastikan suara itu tidak dikorupsi oleh praktik kecurangan ataupun penyalahgunaan wewenang. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 58, yang memerintahkan agar amanah disampaikan kepada yang berhak serta keadilan ditegakkan tanpa diskriminasi. Ayat ini menegaskan prinsip universal: setiap individu yang menerima kepercayaan, baik dalam ranah politik maupun sosial, wajib menjaga integritasnya. Sebagaimana dikemukakan Jimly Asshiddiqie (2006), demokrasi tidak hanya bertumpu pada perangkat hukum formal, melainkan juga membutuhkan constitutional morality, yakni moralitas konstitusi yang berakar pada nilai amanah dan rasa tanggung jawab. Bila amanah diabaikan, kepercayaan masyarakat akan runtuh, dan Pemilu kehilangan makna sebagai instrumen kedaulatan rakyat.   KEJUJURAN SEBAGAI PILAR INTEGRITAS Sifat siddiq atau kejujuran merupakan karakter utama Nabi Muhammad ﷺ yang menjadikan masyarakat menaruh kepercayaan penuh kepadanya, bahkan sebelum masa kenabian. Kejujuran tersebut menjadi modal sosial yang mengangkat kedudukan beliau di tengah komunitas Makkah, sekaligus memperlihatkan bahwa reputasi seorang pemimpin berawal dari integritas personal. Dalam penyelenggaraan Pemilu, kejujuran bukanlah sekadar nilai tambahan, melainkan syarat utama untuk menegakkan integritas. Tanpa kejujuran, semua prinsip kepemiluan akan kehilangan makna substantif dan hanya tersisa sebagai formalitas administratif. Karena itu, KPU melalui Keputusan KPU RI Nomor 31/PP.06-Kpt/06/KPU/I/2019 menekankan dalam Kode Etik Penyelenggara Pemilu bahwa setiap tahapan harus dijalankan berdasarkan kebenaran, keadilan, dan integritas. Pakar politik Syamsuddin Haris (2014) mengingatkan bahwa demokrasi yang hanya berhenti pada tataran prosedural tanpa disertai kejujuran akan melahirkan pseudo democracy, yakni demokrasi semu yang kehilangan substansi dan legitimasi. Dengan demikian, kejujuran adalah roh dari integritas penyelenggara Pemilu. Jika nilai ini ditegakkan, kepercayaan rakyat akan menguat, dan demokrasi akan berfungsi sebagaimana mestinya: melindungi hak, suara, dan kedaulatan rakyat.   KEADILAN SEBAGAI PRINSIP UNIVERSAL Salah satu keteladanan terbesar Rasulullah ﷺ adalah konsistensinya dalam menegakkan keadilan, bahkan ketika itu menyangkut keluarganya sendiri. Dalam hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim, beliau menegaskan: “Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku yang akan memotong tangannya.” Pesan moral yang terkandung jelas: hukum tidak boleh tunduk pada kepentingan pribadi atau golongan, dan keadilan harus ditegakkan secara objektif. Demikian pula dalam konteks demokrasi modern. Konstitusi Indonesia melalui Pasal 22E UUD NRI 1945 telah menetapkan asas luber jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) sebagai roh penyelenggaraan Pemilu. Prinsip keadilan mengharuskan penyelenggara untuk netral, tidak diskriminatif, serta memberi kesempatan setara kepada semua kontestan politik. Miriam Budiardjo (2008) menegaskan bahwa keadilan merupakan syarat pokok legitimasi politik. Tanpa adanya fairness, Pemilu akan berubah menjadi kontestasi timpang yang justru merusak esensi kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, penyelenggara Pemilu dituntut meneladani keteguhan Nabi dalam menegakkan keadilan secara universal, tanpa pandang bulu.   ETIKA PELAYANAN PUBLIK: MENELADANI KEPEMIMPINAN NABI Rasulullah ﷺ adalah contoh nyata pemimpin yang berorientasi pada pelayanan, bukan pada privilese kekuasaan. Beliau hidup sederhana, dekat dengan rakyat, serta selalu mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi. Model kepemimpinan semacam ini memberi pelajaran bahwa esensi kekuasaan adalah melayani, bukan dilayani. Prinsip tersebut sangat relevan bagi penyelenggara Pemilu. Melalui PKPU Nomor 7 Tahun 2024 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Serentak, ditegaskan bahwa setiap pemilih, tanpa terkecuali, harus mendapatkan pelayanan yang setara. Hal ini mencakup pemilih pemula, penyandang disabilitas, maupun kelompok rentan lainnya. Amartya Sen (1999) menyatakan bahwa demokrasi hanya akan bermakna jika rakyat diperlakukan sebagai subjek yang aktif, bukan sekadar objek kebijakan. Dengan meneladani etika kepemimpinan Nabi, penyelenggara Pemilu dapat menjadikan pelayanan publik sebagai inti dari mandat konstitusionalnya, sehingga demokrasi benar-benar hadir untuk rakyat.   AKUNTABILITAS MORAL DAN SPIRITUAL Integritas seorang pemimpin, termasuk penyelenggara Pemilu, tidak bisa diukur hanya dari kepatuhan terhadap aturan administratif. Lebih dari itu, ia ditopang oleh akuntabilitas moral dan kesadaran spiritual. Rasulullah ﷺ selalu mengingatkan bahwa setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam ranah kepemiluan, kesadaran ini berarti bahwa setiap keputusan penyelenggara kecil ataupun besar akan berpengaruh langsung terhadap kualitas demokrasi dan legitimasi negara. Robert Dahl (1989) menekankan bahwa legitimasi demokrasi tidak hanya bergantung pada kerangka hukum formal, tetapi juga pada kepercayaan publik terhadap integritas penyelenggaranya. Dengan keyakinan bahwa Allah senantiasa menjadi saksi atas setiap tindakan, akuntabilitas moral harus menjadi nafas dalam setiap kebijakan kepemiluan. Pemilu yang dijalankan dengan landasan spiritualitas seperti ini tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga bermartabat di mata rakyat dan berharga di hadapan Tuhan.   PENUTUP Peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ merupakan momen penting untuk meneguhkan kembali teladan akhlak beliau dalam praktik kebangsaan. Nilai-nilai amanah, kejujuran, keadilan, pelayanan publik, serta akuntabilitas yang diwariskan Nabi sejalan dengan prinsip dasar demokrasi dan regulasi kepemiluan di Indonesia. Apabila penyelenggara Pemilu mampu menginternalisasi nilai-nilai tersebut, maka tugas mereka tidak sekadar menjalankan prosedur hukum, tetapi juga mencerminkan tanggung jawab moral dan spiritual. Dengan cara itu, suara rakyat benar-benar terjaga sebagai amanah konstitusional yang harus dilindungi dengan penuh keadilan dan integritas. Akhirnya, Maulid Nabi bukan hanya peringatan sejarah kelahiran Rasulullah, melainkan refleksi kebangsaan yang mengingatkan kita bahwa demokrasi sejati hanya dapat terwujud melalui penyelenggara Pemilu yang berintegritas. Jalan inilah yang akan mengantar Indonesia menuju kedaulatan rakyat yang adil, bermartabat, dan beradab, selaras dengan cita-cita bangsa serta tuntunan Rasulullah ﷺ.

Oleh:  MH. Isnaeni, S.Pd., Gr. Anggota KPU Kabupaten Sragen   Tujuh puluh delapan tahun lalu bangsa ini memproklamasikan kemerdekaan, dan sebentar lagi Indonesia akan memasuki delapan dekade merdeka. Delapan puluh tahun adalah usia matang untuk refleksi: sejauh mana janji kemerdekaan telah diwujudkan? Apakah kemerdekaan sekadar lepas dari penjajahan, atau sudah menghadirkan keadilan sosial, pendidikan yang layak, dan kesejahteraan bagi semua? Refleksi ini menegaskan bahwa demokrasi bukan tujuan akhir, tetapi alat untuk memperjuangkan cita-cita kemerdekaan. Dalam konteks itu, pemilu hadir bukan sekadar seremoni lima tahunan untuk memilih pemimpin, melainkan mekanisme agar kedaulatan rakyat berjalan nyata. Pemilu memungkinkan rakyat menggunakan hak konstitusionalnya, memastikan arah negara sesuai aspirasi bersama. Namun pemilu tidak berlangsung sendirinya; ia harus dijaga, dikelola, dan diselenggarakan dengan integritas. Di sinilah peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi strategis. KPU bukan bagian dari kompetisi politik, melainkan wasit yang memastikan semua peserta memiliki kesempatan setara dan setiap suara dihitung dengan benar. Tanpa penyelenggara berintegritas, janji demokrasi akan kehilangan makna (Smith, 2021). Pemilu: Lebih Dari Sekadar Menang-Kalah Secara normatif, UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) menegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang. Pemilu menjadi wujud langsung dari prinsip itu. Namun tujuan akhirnya bukan sekadar menghasilkan pemenang, melainkan melahirkan pemimpin sah secara politik dan konstitusional, yang dapat merumuskan kebijakan berorientasi pada kesejahteraan rakyat (Accardi, 2018). KPU memang fokus pada proses: memastikan daftar pemilih akurat, kampanye tertib, logistik aman, hingga penghitungan suara transparan. Namun pemilu yang terjaga kualitasnya melahirkan ruang demokrasi sehat dari sinilah kebijakan publik berpihak pada rakyat. Pemilu berintegritas adalah prasyarat demokrasi substantif. Menjawab Tantangan Pemilu Di Era Digital Era digital membawa peluang dan ancaman sekaligus. Di satu sisi, teknologi mendorong transparansi melalui rekapitulasi elektronik dan akses informasi cepat. Di sisi lain, disinformasi dan politik uang menemukan cara baru merusak kualitas demokrasi. Dalam tekanan ini, KPU terus memperkuat regulasi, meningkatkan literasi pemilih, dan memastikan pemilu tetap menjadi sarana rakyat menyalurkan hak konstitusional (UU No. 7 Tahun 2017). Namun tanggung jawab mewujudkan kesejahteraan tidak berada di pundak penyelenggara pemilu semata. KPU menjaga “pintu masuk demokrasi,” sementara yang mengelola “ruang kebijakan” adalah pemerintah dan legislatif yang dipilih rakyat. Kritik terhadap ketimpangan sosial seharusnya diarahkan pada aktor kebijakan, bukan mekanisme pemilu itu sendiri. Dari Legitimasi Prosedural Ke Substantif Accardi (2018) menegaskan demokrasi modern harus bergerak dari legitimasi prosedural sekadar menang sesuai aturan—menuju legitimasi substantif, yakni pemimpin yang mampu menyejahterakan rakyat. KPU memastikan legitimasi prosedural terjaga. Dengan pemilu yang kredibel, rakyat dapat menilai dan memilih pemimpin dengan informasi utuh, bukan lewat politik transaksional atau manipulasi opini. Memperkuat pemilu berarti memperkuat demokrasi, sekaligus fondasi kesejahteraan rakyat. Pemilu bersih adalah titik awal, bukan akhir. Dari sinilah janji kemerdekaan kemerdekaan yang menghadirkan keadilan sosial terus diperjuangkan. Kepercayaan Publik: Modal Demokrasi Kepercayaan publik terhadap pemilu adalah modal sosial yang tak ternilai. Tanpa kepercayaan, hasil pemilu diragukan, demokrasi terguncang, dan stabilitas politik terancam. KPU membangun kepercayaan ini lewat transparansi informasi, partisipasi publik, serta pengawasan ketat di setiap tahapan (Smith, 2021). Jika ada kegelisahan apakah pemilu membawa kesejahteraan, itu kritik sehat yang harus diarahkan pada sistem politik secara keseluruhan. Namun satu fakta penting: tanpa pemilu berintegritas, pintu menuju demokrasi substantif tertutup rapat. KPU menjadi garda terdepan menjaga janji kemerdekaan agar suara rakyat benar-benar dihormati dan menjadi dasar kebijakan publik yang adil. Refleksi Kemerdekaan 80 Tahun Memasuki usia 80 tahun kemerdekaan, bangsa ini dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana mengawal demokrasi agar tidak sekadar prosedural, tetapi substantif? Pemilu yang bersih bukan hanya soal legitimasi politik, tetapi juga wujud penghormatan terhadap pengorbanan para pendiri bangsa. Mereka memperjuangkan kemerdekaan agar rakyat berdaulat, bukan sekadar agar kursi kekuasaan berpindah tangan. Momentum delapan dekade merdeka adalah saat yang tepat untuk menegaskan kembali: menjaga integritas pemilu sama dengan menjaga janji kemerdekaan itu sendiri. Kesimpulan: Pemilu Sebagai Pilar Janji Kemerdekaan Pemilu bukan ritual lima tahunan, melainkan fondasi demokrasi. Melalui kerja KPU yang independen, profesional, dan transparan, bangsa ini memiliki jaminan setiap suara dihitung dan setiap warga diperlakukan setara. Namun kesejahteraan rakyat tidak otomatis hadir hanya karena pemilu terlaksana dengan baik dibutuhkan komitmen penuh pemimpin terpilih dan partai politik untuk menerjemahkan mandat rakyat menjadi kebijakan nyata. Karena itu, kritik terhadap demokrasi harus diarahkan untuk memperkuat sistem, bukan melemahkan institusi penyelenggara. KPU berdiri di garda depan memastikan janji kemerdekaan tidak dikhianati. Hanya dengan pemilu berintegritas, bangsa ini dapat melangkah menuju demokrasi yang benar-benar substantif, bukan sekadar prosedural (Accardi, 2018; Smith, 2021). 

Oleh:  Irwan Sehabudin, S.IP. Anggota KPU Kabupaten Sragen   Demokrasi seringkali menjadi tema pembahasan, penelitian hingga perdebatan oleh para ahli dan akademisi. Masyarakat dari berbagai lapisan baik kalangan kelas atas hingga rakyat biasa tidak ketinggalan untuk sekedar ngobrol diwarung kopi membahas demokrasi baik dari sudut pandang positif maupun pragmatis. Tema demokrasi menjadi hal menarik untuk didiskusikan, mengingat sistem demokrasi menjadi pilihan terbaik saat ini yang diharapkan dapat mempercepat mencapai cita-cita kemerdekaan yaitu satu masyarakat yang adil dan makmur. Namun, meskipun tema demokrasi bukanlah hal asing bagi kita, terlebih kita sebagai sebuah bangsa sudah 13 kali melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu). Dimana salah satu ciri negara demokrasi adalah dilaksanakannya Pemilu secara tetap dan berkelanjutan. Kita menemukan sebuah ironi, dimana masyarakat belum menikmati hasil demokrasi seutuhnya, dalam Pemilu kita masih melihat dengan nyata praktek politik uang, intervensi dan penyalahgunaan wewenang, serta perpecahan soliditas sosial karena berbeda pilihan. Inilah kondisi paradoks yang terjadi kepada kita sebagai negara demokratis. Ada benang merah yang terhubung dari esensi demokrasi dan fungsi Pemilu. Menurut penulis demokrasi dan Pemilu adalah satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan seperti dua sisi mata koin. Negara demokratis harus melakukan Pemilu sebagai cara konstitusional meregenerasi pejabat negaranya. Pemilu sebagai sistem untuk meregenerasi pejabat negara secara demokratis pula. Sejak Pemilu pertama tahun 1955, kita sudah 13 kali melaksanakan Pemilu. Setiap rezim kekuasaan sudah melaksanakan Pemilu, seperti di masa orde lama (1945-1966) satu kali, di masa orde baru (1967-1998) enam kali, di masa pasca reformasi (1998-sekarang) enam kali. Merujuk UU Nomor 7 Tahun 2017 disebutkan Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat dimana rakyat melaksanakan haknya untuk memilih wakilnya di legislatif dan memilih pemimpinnya di eksekutif secara langsung dan demokratis. Tujuan demokrasi pada dasarnya adalah menjadikan rakyat berdaulat atau kedaulatan berada di tangan rakyat. Secara bahasa demokrasi yang berasal dari kata demos dan kratos. Demos artinya rakyat dan Kratos artinya emerintahan atau kekuasaan. Seperti pernah diutarakan Abraham Lincoln (1863) bahwa demokrasi adalah pemerintahan rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Ia meyakini bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang memberikan kekuasaan kepada rakyat sebagai pemegang kekuasaan yang sejati dengan berprinsip kepada kesetaraan, keadilan, dan kebebasan. Menurutnya bahwa setiap individu memiliki hak-hak yang sama tidak ada yang lebih diunggulkan dari yang lain sehingga penghormatan terhadap hak asasi manusia menjadi sangat penting dan untuk tujuan itu pemerintahan negara haruslah representative dari rakyat. Di bulan agustus tahun 2025 ini, sebagai bangsa kita sedang bersukacita yaitu merayakan hari ulang tahun Negara Republik Indonesia ke-80 dengan tema “bersatu berdaulat rakyat sejahtera indonesia maju.” Masyarakat berbondong-bondong menyelenggarakan berbagai kegiatan perayaan, seperti upacara, perlombaan, pengajian, tasyakuran, tirakatan semalam suntuk sebagai ajang silaturahmi dan menguatkan solidaritas warga masyarakat serta mengungkapkan rasa syukur karena sudah memiliki negara yang merdeka. Penulis ingin menjadikan momentum peringatan HUT Negara Indonesia kali ini untuk menggali semangat proklamasi dengan mengurai tujuan demokrasi untuk kesejahteraan rakyat. Hal itu bermula saat penulis merasa bahwa demokrasi harus berfungsi sempurna sebagai alat atau sistem untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Pertanyaannya apakah saat ini demokrasi berfungsi dengan baik?. Pertanyaan ini bagi penulis sangat menarik dan menjadi pemantik untuk kita diskusikan sehingga mendapat jawaban yang relevan dan bernilai. Dimomen peringatan hari kemerdekaan ini mari kita berbicara tentang tujuan demokrasi bagi sebuah bangsa. Diawal penulis sudah menyinggung soal penyelenggaraan Pemilu dan sekilas tentang makna dan esensi demokrasi. Sekarang penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana demokrasi itu dapat berjalan untuk mencapai tujuannya. Yaitu sebagai benteng yang kokoh untuk melindungi kedaulatan rakyat yang itu menjadi esensi demokrasi. Seorang ahli Joseph Schumpeter berpendapat bahwa demokrasi sebagai rule of the people adalah peraturan/ pemerintahan rakyat melalui proses pemilihan perwakilan, dilembaga perwakilan tersebut rakyat memiliki kekuasaan untuk membuat aturan sehingga peraturan yang ada adalah refresentatif dari kepentingan rakyat itu sendiri. Schumber menyebutkan ada 2 macam faktor pendukung agar demokrasi dapat bekerja, yaitu ;  Pertama, tidak ada kepemimpinan atau kekuasaan yang bersifat absolut dimana tidak terjadi pembagian kekuasaan yang merata dan proporsional kepada lembaga negara lain. Kedua, mengoptimalkan lembaga politik dalam hal ini lembaha legislatif untuk melaksanaka perannya dalam menampung aspirasi rakyat dan memperjuangkan nilai-nilai politik yang dianut dan dilakasankan dengan konsisten (Sumber: Schumpeter, Joseph, 1947. “Capitalism, Socialism and democracy”. New York). Selain kedua faktor pendukung tersebut juga diperlukan 2 macam cara kerja agar demokrasi berkerja dengan baik. Pertama partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik, baik melalui partai politik, lembaga swadaya masyarakat, pers, ataupun organisasi kemasyarakatan. Partisipasi politik dari masyarakat sangatlah penting dan merupakan salah satu aspek penting dalam demokrasi. Menurut Ramlan Surbakti bahwa Partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya (Sumber : Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Gramedia Widiasarana Indonesia.Jakarta) Kedua keadilan dalam bidang ekonomi atau demokrasi ekonomi. Artinya rakyat bukan dijadikan sebagai objek pasar, yang hanya menjadi konsumen tanpa ada pelibatan yang positif kepada bidang produksi. Hemat penulis ini penting dan menjadi tujuan demokrasi yaitu ternyacapainya keadilan dibidang politik dan keadilan dibidang ekonomi. Kita tidak bisa hanya merdeka di bidang politik semata, tetapi di ekonomi masih ada penghisapan dan pengekploitasian antara manusia kepada manusia lainnya. Oleh karenya perlu juga demokrasi dibidang ekonomi. Saat ini sistem demokrasi dianggap sebagai sebuah sistem paling baik oleh negara-negara di dunia. Sistem demokrasi dianggap dapat memberikan kesempatan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan sebuah negara. Secara global, Our World in Data dalam riset Lexical Index of Electoral Democracy (LIED) mencatat 85 persen dari 199 negara di dunia memiliki parlemen dan pemerintahan yang dipilih secara demokratis, termasuk negara Indonesia. Tetapi kita mengharapkan Indonesia menjadi Negara Demokrasi sejati bukan demokrasi formalitas. Demokrasi sejati yang betul betul kedaulatan berada ditangan rakyat. Seperti tercantum dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik, ayat (2) Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Begitu juga di dalam Pancasila di sila keempat disebutkan “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Dalam sila tersebut menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi yaitu dengan adanya lembaga perwakilan rakyat yang melakukan musyawarah untuk mufakat sebagai bentuk kedaulatan rayat yeng merupakan cerminan demokrasi.

Oleh:  MH. Isnaeni, S.Pd., Gr. Anggota KPU Kabupaten Sragen   Sayang, masih banyak diantara kalangan elit politik dan masyarakat memahami bahwa Pemilu yang demokratis bergantung pada hari pemilihan di TPS. Penting untuk dipahami bersama bahwa demokrasi dalam sebuah Pemilu tidak bergantung saat hari pemilihan di TPS saja. Dalam pelaksanaan pemilihan demokratis, transparan, akuntabel, akurat, berkualitas, dan selalui diperbarui menjadi pondasi utama yang tidak bisa ditawar. Setelah Pemilu dan Pilkada, proses demokratisasi masih terus berjalan untuk pemilihan selanjutnya. Pentingnya proses PDPB tidak hanya terletak pada akurasi data, tetapi juga dalam memastikan akses dan kesempatan yang adil untuk menggunakan hak pilihnya sesuai amanat konstitusi. Menganggap PDPB sebagai formalitas belaka menjelang pemilu atau pilkada berarti mengabaikan esensi sejatinya dalam demokrasi. Justru, kualitas dan kredibilitas pemilu sangat ditentukan oleh keakuratan data pemilih. Tanpa pemutakhiran yang tepat dan terpercaya, proses demokrasi bisa terganggu dan kehilangan legitimasi moral maupun teknis. PDPB Vital, mengapa? Pertama, dinamika jumlah dan karakteristik penduduk terus mengalami perubahan seiring waktu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi seperti angka kelahiran, angka kematian, perpindahan tempat tinggal, sampai perubahan status administrasi kependudukan yang secara langsung mempengaruhi perubahan Daftar Pemilih dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, tanpa adanya proses Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB), daftar pemilih pasti tidak akan mampu mengikuti perkembangan dan perubahan nyata dalam kondisi demografi. Kedua, PDPB juga berfungsi sebagai instrumen utama sekaligus satu satunya sistem deteksi dini yang terstuktur terhadap dinamika kependudukan. Sebagai contoh, adanya data ganda, pemilih yang sudah meninggal tapi masih status hidup dan sebaliknya, pemilih pemula yang belum terdaftar dalam daftar pemilih tetap pada pemilu dan pilkada 2024. Hal ini, jika tidak segera diselesaikan, tentu akan mendatangkan masalah yang serius di data pemilih dan potensi munculnya masalah pada hari H pencoblosan akan tidak bisa teratasi dengan cepat dan akurat pada saat hari Pencoblosan. Ketiga, Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) sangat membantu untuk meminimalisasi ketergantungan terhadap proses yang dilakukan secara mendadak menjelang tahapan pemilu. Sebagai contoh tahapan Coklit. Dengan proses perbaruan yang dilakukan secara berkala, beban-beban tugas kerja badan adhoc bisa menjadi ringan, sehingga kualitas hasil pemutakhiran data pemilih akan menjadi lebih akurat, valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Kendala yang dihadapi dan cara mengatasi ! Pada kenyataannya proses Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) tidap seperti membalikan telapak tangan. Proses PDPB di lapangan menghadapi beberapa kendala yang signifikan, kendala-kendala ini jika tidak diperhatikan untuk dicarikan solusi tetunya akan mengganggu proses PDPB, sebagai contoh keterlibatan masyarakat sangat minim sekali, hal ini bisa jadi sosialisasi PDPB juga belum bisa dimaksimalkan, perhatian terkait administrasi kependudukan masih kurang memahami dan kesadaran. Kurangnya kesadaran sebagian warga dalam memperbaiki data kependudukan berdampak pada proses PDPB. Misalnya perubahan status tidak dilaporkan ke KPU, sehingga berakibat pada terganggunya validitas dan keakuratan data pemilih. Kolaborasi, komunikasi, koordinasi dan kerjasama yang lebih kuat dan solid antara KPU, Disdukcpil, POLRI, TNI dan pemerintah daerah sampai di tingkat kelurahan atau desa. Tanpa kerjasama, kolaborasi dan saling terintegrasi antara stakeholder tersebut, maka resiko terjadinya duplikasi data pemilih, kehilangan data pemilih akan mudah terjadi dan muncul yang tanpa disaadari oleh KPU. Pengembangan sistem berbasis digital, kolaborasi lintas elemen masyarakat, dan pelaksanaan regulasi PDPB menjadi landasan yang kokoh dalam mendukung keberlangsungan proses PDPB. PDPB dan Pemilu 2029 PDPB adalah proses strategi jangka panjang yang sangat penting dan dibutuhkan dalam mempersiapkan pemilu 2029 yang lebih berkualitas dan berintegritas. Proses PDPB seharusnya tidak hanya sekedar agenda rutinan setiap tahun, tetapi PDPB adalah bagian yang sangat penting untuk diperhatikan dan dilaksanakan secara kesadaran penuh dari berbagai kalangan masyarakat, elit politik, instansi pemerintahan dan stakeholder yang berkaitan. Keterlibatan partisipatif masyarakat menjadi tugas penting bagi KPU untuk membangun komunikasi dan kolaborasi untuk mendapatkan ekosistem data yang terbuka, transparansi. Partisipasi aktif masyarakat, dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, dan komitmen penuh dari pemerintah menjadi kunci utama untuk menghasilkan data pemilih pemilu 2029 yang akurat dan terpercaya, serta menciptakan pemilu yang bermartabat. Untuk mendukung keberhasilan PDPB yang lebih terstruktur, KPU Kabupaten Sragen telah melaksanakan beberapa langkah nyata, termasuk mengintensifkan koordinasi dengan lembaga lembaga terkait seperti Bawaslu, Dinas kependudukan dan Catatan Sipil, Aparat kepolisian, TNI dan Kementrian Agama. Sosialisasi PDPB diberbagai media sosial harus digencarkan, perlu juga program-program Gerakan Sadar Pemilu, membangun Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan, kerjasama dengan sekolah dan pesantren dalam menyisir pemilih pemula. Penutup PDPB tidak hanya sekedar administrasi Daftar Pemilih, tetapi PDPB merupakan cerminan dasar sebuah demokrasi yang berkualitas. Ketika pendataan pemilih dilakukan secara cermat, akurat dan sesuai fakta, maka hak suara setiap warga dalam pemilu dan pemilihan akan menjadi bermakna dan berdampak. Untuk itu PDPB harus menjadi agenda bersama yang mendapat perhatian khusus dan serius dari semua pemangku kepentingan – termasuk KPU, Bawaslu, pemerintah, Partai Politik, media, aparat keamanan, dan masyarakat luas. Dengan pelaksanaan yang konsisten dan menyeluruh, proses PDPB akan memenuhi standar prinsip yang diatur dalam PKPU No. 1 Tahun 2025, yang mencakup asas komprehensivitas, inklusivitas, akurasi, pemutakhiran berkelanjutan, keterbukaan, partisipasi aktif masyarakat, akuntabilitas, dan perlindungan atas data pribadi, sehingga akan mewujudkan Pemilu 2029 yang lebih bermartabat.

Oleh:  MH. Isnaeni, S.Pd., Gr. Anggota KPU Kabupaten Sragen   Selama ini, konsep demokrasi sering diasosiasikan dengan pemikiran modern yang berkembang dari peradaban barat, khususnya Yunani Kuno. Namun, jika dicermati secara mendalam, nilai-nilai dasar demokrasi sejatinya telah terwujud dalam praktik kehidupan para nabi terdahulu. Kisah Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS, menjadi contoh berharga yang menunjukkan nilai musyawarah, keterbukaan dalam mendengar, serta sikap menghargai pandangan orang lain dalam menyikapi perintah ilahi yang penuh ujian. Kisah ini tidak hanya mengandung nilai keimanan, tetapi juga menekankan pentingnya komunikasi terbuka dan pengambilan keputusan bersama. Setelah Pilkada, nilai-nilai tersebut memiliki peran penting dalam menjaga integritas demokrasi, membangun kepercayaan antar elemen masyarakat, dan mewujudkan kepemimpinan yang adil serta menyatukan berbagai kelompok. Ada lima pondasi pokok nilai-nilai demokrasi yang dapat dijadikan pelajaran penting dari kisah spiritual Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Nilai-nilai ini tidak hanya menggambarkan keteladanan dalam hubungan antara ayah dan anak, tetapi juga mencerminkan prinsip-prinsip luhur yang sangat relevan dalam membangun kehidupan demokratis yang beretika dan berkeadaban. 1.  Demokrasi sebagai Wujud Musyawarah yang Bernilai Spiritual Perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail AS, tidak menunjukkan kepatuhan sepihak semata. Justru dalam QS Ash-Shaffat ayat 102, Al-Qur’an menggambarkan respons Nabi Ibrahim yang bijaksana melalui pendekatan dialogis. Allah SWT berfirman: “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’...” Ucapan tersebut menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim AS tidak langsung menjalankan perintah secara mutlak, melainkan lebih dulu mengajak Nabi Ismail AS berdiskusi secara halus dan penuh kebijaksanaan. Nabi Ibrahim AS memberi ruang komunikasi dengan menyampaikan niatnya secara halus dan memberi kesempatan kepada Ismail untuk merespons dengan pemikiran dan perasaanya sendiri. Dalam konteks ini, kita dapat melihat bahwa Nabi Ibrahim telah menanamkan prinsip-prinsip demokrasi substansial jauh sebelum istilah tersebut dikenal secara formal. Dialog antara ayah dan anak ini menjadi representasi dari musyawarah yang sarat makna—sebuah proses pengambilan keputusan yang melibatkan kesadaran bersama, penghargaan terhadap suara individu, serta menghindari dominasi sepihak. Prinsip semacam ini sangat penting untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, terutama ketika menyikapi berbagai keputusan besar yang menyangkut kepentingan publik dan moral. 2.  Keteladanan Nabi Ismail: Kepatuhan Aktif dan Kesadaran Bermusyawarah (Berdemokrasi) Tanggapan Nabi Ismail AS atas ajakan ayahnya, Nabi Ibrahim AS, dalam menjalankan perintah Allah SWT mencerminkan keteguhan sikap yang sangat mengagumkan. Ketika ia berkata, “Wahai Ayahku, jalankanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu; insya Allah aku akan termasuk golongan orang-orang yang sabar." Respons tersebut tidak didorong oleh rasa takut atau tekanan, melainkan berakar dari ketulusan iman dan keteguhan keyakinan yang mendalam. Ia menyampaikan kesiapannya secara sadar dan ikhlas, bukan karena tunduk pada kekuasaan ayahnya, tetapi karena ia memahami bahwa perintah tersebut datang dari Tuhan Yang Maha Bijaksana. Sikap Nabi Ismail menunjukkan bahwa ketaatan dalam Islam tidak bersifat pasif, melainkan merupakan bentuk keterlibatan aktif yang didasari oleh pemahaman, kepercayaan, dan komunikasi yang jujur dan terbuka. Keteladanan tersebut mencerminkan nilai-nilai demokrasi yang hakiki —yakni penghargaan terhadap dialog, persetujuan bersama, dan pengambilan keputusan secara sadar. Dalam kehidupan masyarakat, terutama usai pelaksanaan Pilkada, nilai ini memiliki relevansi yang kuat. Kepemimpinan yang ideal adalah kepemimpinan yang mampu membangun relasi kepercayaan dengan rakyat, membuka ruang partisipasi, dan merangkul perbedaan dengan cara yang bijak dan etis. 3.  Makna Demokrasi yang Lebih Substantif dalam Kehidupan Kontemporer Di era kontemporer, pemahaman tentang demokrasi acapkali terbatas pada dimensi prosedural, mencakup pelaksanaan pemilu periodik, tata cara pemilihan langsung, serta penekanan pada hak suara individu. Inti dari demokrasi tidak hanya terletak pada prosedur dan simbol resmi, melainkan pada nilai-nilai esensial yang mendasarinya. Demokrasi yang bernilai mengutamakan prinsip-prinsip mendasar seperti musyawarah sebagai bentuk partisipasi aktif, keterbukaan informasi atau transparansi dalam proses pengambilan keputusan, serta kemampuan seorang pemimpin untuk mendengar dan memahami aspirasi masyarakat sebelum menentukan arah kebijakan. Demokrasi di Indonesia masih kerap dijalankan tanpa menyentuh nilai-nilai dasarnya. Dominasi suara mayoritas sering kali mengabaikan hak-hak kelompok minoritas. Keputusan-keputusan strategis lebih sering diambil oleh elite politik tanpa melibatkan pandangan masyarakat luas. Dalam sejumlah situasi, simbol agama kerap dimanfaatkan untuk tujuan politik kekuasaan, tanpa memperhatikan makna spiritual yang mendalam. Di sinilah kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menjadi rujukan etis yang penting. Mereka meneladankan bahwa prinsip seperti musyawarah, ketulusan, dan kesadaran bersama adalah dasar utama demokrasi. Keteladanan keduanya menjadi refleksi sekaligus kritik atas praktik demokrasi yang telah menyimpang dari nilai aslinya. 4.  Implementasi Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Pemilu dan Kepemimpinan Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail memuat nilai demokrasi yang sangat relevan bagi praktik pemilu dan kepemimpinan masa kini, terutama bagi penyelenggara. Pemilu bukan sekadar prosedur memilih pemimpin, melainkan momen strategis untuk meneguhkan keadilan, menyadarkan hak politik warga, dan menjunjung nilai demokrasi Penghargaan terhadap hak setiap warga dalam menyalurkan suara mereka secara bebas dan setara. Di setiap fase penyelenggaraan pemilu mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga rekapitulasi hasil diperlukan upaya untuk membuka akses partisipasi publik secara aktif, menyelenggarakan pendidikan politik yang mencerdaskan, serta menciptakan komunikasi timbal balik antara penyelenggara dan masyarakat, antara penyelenggara dan publik. Seorang pemimpin yang benar-benar demokratis bukan hanya dilihat dari kemampuannya memenangkan kontestasi, tetapi dari kemampuannya mendengarkan aspirasi rakyat, bersikap rendah hati, dan meneladani akhlak para nabi dalam menjalankan amanah. Nilai-nilai inilah yang seharusnya menjadi roh dalam praktik demokrasi pasca pemilu, agar sistem politik yang dijalankan tidak kehilangan arah dan makna. 5.  Semangat Kurban sebagai Landasan Etika Demokrasi Idul Adha yang mengangkat kisah Nabi Ibrahim dan Ismail bukan semata ritual penyembelihan, tetapi sarat makna pengorbanan yang mendalam. Lebih dari itu, momen tersebut mengandung pesan mendalam tentang kesiapan untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi nilai-nilai kebenaran dan kemaslahatan yang lebih luas. Dalam konteks demokrasi, semangat ini dapat diterjemahkan sebagai ajakan untuk mengesampingkan ego sektoral, menghindari fanatisme politik, dan menahan diri dari ambisi kekuasaan yang dapat merugikan kepentingan publik. Demokrasi yang hakiki tidak cukup ditegakkan lewat aturan dan prosedur resmi, melainkan harus dilandasi oleh kesadaran etis dan tanggung jawab moral dalam setiap aspek pelaksanaannya. Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail menjadi pelajaran penting bahwa dalam setiap pengambilan keputusan besar —baik dalam konteks sosial maupun politik— perlu diiringi oleh ketulusan, dialog yang terbuka, serta sikap rela berkorban demi kebaikan bersama. Oleh sebab itu, nilai-nilai luhur yang tercermin dalam peristiwa kurban hendaknya ditanamkan dalam praktik politik bangsa, mulai dari lingkungan keluarga hingga sistem pemerintahan, agar demokrasi yang tumbuh tidak hanya diakui secara hukum, praktik tersebut seharusnya juga mencerminkan integritas moral dan nilai-nilai spiritual yang menjadi landasan kehidupan berbangsa.