
PASCA PILKADA dan PEMILU 2024 - Membangun Demokrasi Bermakna melalui Refleksi Keteladanan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS
Selama ini, konsep demokrasi sering diasosiasikan dengan pemikiran modern yang berkembang dari peradaban barat, khususnya Yunani Kuno. Namun, jika dicermati secara mendalam, nilai-nilai dasar demokrasi sejatinya telah terwujud dalam praktik kehidupan para nabi terdahulu. Kisah Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS, menjadi contoh berharga yang menunjukkan nilai musyawarah, keterbukaan dalam mendengar, serta sikap menghargai pandangan orang lain dalam menyikapi perintah ilahi yang penuh ujian.
Kisah ini tidak hanya mengandung nilai keimanan, tetapi juga menekankan pentingnya komunikasi terbuka dan pengambilan keputusan bersama. Setelah Pilkada, nilai-nilai tersebut memiliki peran penting dalam menjaga integritas demokrasi, membangun kepercayaan antar elemen masyarakat, dan mewujudkan kepemimpinan yang adil serta menyatukan berbagai kelompok.
1. Demokrasi sebagai Wujud Musyawarah yang Bernilai Spiritual
Perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail AS, tidak menunjukkan kepatuhan sepihak semata. Justru dalam QS Ash-Shaffat ayat 102, Al-Qur’an menggambarkan respons Nabi Ibrahim yang bijaksana melalui pendekatan dialogis. Allah SWT berfirman:
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’...”
Ucapan tersebut menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim AS tidak langsung menjalankan perintah secara mutlak, melainkan lebih dulu mengajak Nabi Ismail AS berdiskusi secara halus dan penuh kebijaksanaan. Nabi Ibrahim AS memberi ruang komunikasi dengan menyampaikan niatnya secara halus dan memberi kesempatan kepada Ismail untuk merespons dengan pemikiran dan perasaanya sendiri.
Dalam konteks ini, kita dapat melihat bahwa Nabi Ibrahim telah menanamkan prinsip-prinsip demokrasi substansial jauh sebelum istilah tersebut dikenal secara formal. Dialog antara ayah dan anak ini menjadi representasi dari musyawarah yang sarat makna—sebuah proses pengambilan keputusan yang melibatkan kesadaran bersama, penghargaan terhadap suara individu, serta menghindari dominasi sepihak. Prinsip semacam ini sangat penting untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, terutama ketika menyikapi berbagai keputusan besar yang menyangkut kepentingan publik dan moral.
2. Keteladanan Nabi Ismail: Kepatuhan Aktif dan Kesadaran Bermusyawarah (Berdemokrasi)
Tanggapan Nabi Ismail AS atas ajakan ayahnya, Nabi Ibrahim AS, dalam menjalankan perintah Allah SWT mencerminkan keteguhan sikap yang sangat mengagumkan. Ketika ia berkata, “Wahai Ayahku, jalankanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu; insya Allah aku akan termasuk golongan orang-orang yang sabar." Respons tersebut tidak didorong oleh rasa takut atau tekanan, melainkan berakar dari ketulusan iman dan keteguhan keyakinan yang mendalam. Ia menyampaikan kesiapannya secara sadar dan ikhlas, bukan karena tunduk pada kekuasaan ayahnya, tetapi karena ia memahami bahwa perintah tersebut datang dari Tuhan Yang Maha Bijaksana.
Sikap Nabi Ismail menunjukkan bahwa ketaatan dalam Islam tidak bersifat pasif, melainkan merupakan bentuk keterlibatan aktif yang didasari oleh pemahaman, kepercayaan, dan komunikasi yang jujur dan terbuka. Keteladanan tersebut mencerminkan nilai-nilai demokrasi yang hakiki —yakni penghargaan terhadap dialog, persetujuan bersama, dan pengambilan keputusan secara sadar. Dalam kehidupan masyarakat, terutama usai pelaksanaan Pilkada, nilai ini memiliki relevansi yang kuat. Kepemimpinan yang ideal adalah kepemimpinan yang mampu membangun relasi kepercayaan dengan rakyat, membuka ruang partisipasi, dan merangkul perbedaan dengan cara yang bijak dan etis.
3. Makna Demokrasi yang Lebih Substantif dalam Kehidupan Kontemporer
Di era kontemporer, pemahaman tentang demokrasi acapkali terbatas pada dimensi prosedural, mencakup pelaksanaan pemilu periodik, tata cara pemilihan langsung, serta penekanan pada hak suara individu. Inti dari demokrasi tidak hanya terletak pada prosedur dan simbol resmi, melainkan pada nilai-nilai esensial yang mendasarinya. Demokrasi yang bernilai mengutamakan prinsip-prinsip mendasar seperti musyawarah sebagai bentuk partisipasi aktif, keterbukaan informasi atau transparansi dalam proses pengambilan keputusan, serta kemampuan seorang pemimpin untuk mendengar dan memahami aspirasi masyarakat sebelum menentukan arah kebijakan.
Demokrasi di Indonesia masih kerap dijalankan tanpa menyentuh nilai-nilai dasarnya. Dominasi suara mayoritas sering kali mengabaikan hak-hak kelompok minoritas. Keputusan-keputusan strategis lebih sering diambil oleh elite politik tanpa melibatkan pandangan masyarakat luas.
Dalam sejumlah situasi, simbol agama kerap dimanfaatkan untuk tujuan politik kekuasaan, tanpa memperhatikan makna spiritual yang mendalam. Di sinilah kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menjadi rujukan etis yang penting. Mereka meneladankan bahwa prinsip seperti musyawarah, ketulusan, dan kesadaran bersama adalah dasar utama demokrasi. Keteladanan keduanya menjadi refleksi sekaligus kritik atas praktik demokrasi yang telah menyimpang dari nilai aslinya.
4. Implementasi Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Pemilu dan Kepemimpinan
Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail memuat nilai demokrasi yang sangat relevan bagi praktik pemilu dan kepemimpinan masa kini, terutama bagi penyelenggara. Pemilu bukan sekadar prosedur memilih pemimpin, melainkan momen strategis untuk meneguhkan keadilan, menyadarkan hak politik warga, dan menjunjung nilai demokrasi Penghargaan terhadap hak setiap warga dalam menyalurkan suara mereka secara bebas dan setara.
Di setiap fase penyelenggaraan pemilu mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga rekapitulasi hasil diperlukan upaya untuk membuka akses partisipasi publik secara aktif, menyelenggarakan pendidikan politik yang mencerdaskan, serta menciptakan komunikasi timbal balik antara penyelenggara dan masyarakat, antara penyelenggara dan publik. Seorang pemimpin yang benar-benar demokratis bukan hanya dilihat dari kemampuannya memenangkan kontestasi, tetapi dari kemampuannya mendengarkan aspirasi rakyat, bersikap rendah hati, dan meneladani akhlak para nabi dalam menjalankan amanah. Nilai-nilai inilah yang seharusnya menjadi roh dalam praktik demokrasi pasca pemilu, agar sistem politik yang dijalankan tidak kehilangan arah dan makna.
5. Semangat Kurban sebagai Landasan Etika Demokrasi
Idul Adha yang mengangkat kisah Nabi Ibrahim dan Ismail bukan semata ritual penyembelihan, tetapi sarat makna pengorbanan yang mendalam. Lebih dari itu, momen tersebut mengandung pesan mendalam tentang kesiapan untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi nilai-nilai kebenaran dan kemaslahatan yang lebih luas. Dalam konteks demokrasi, semangat ini dapat diterjemahkan sebagai ajakan untuk mengesampingkan ego sektoral, menghindari fanatisme politik, dan menahan diri dari ambisi kekuasaan yang dapat merugikan kepentingan publik.
Demokrasi yang hakiki tidak cukup ditegakkan lewat aturan dan prosedur resmi, melainkan harus dilandasi oleh kesadaran etis dan tanggung jawab moral dalam setiap aspek pelaksanaannya. Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail menjadi pelajaran penting bahwa dalam setiap pengambilan keputusan besar —baik dalam konteks sosial maupun politik— perlu diiringi oleh ketulusan, dialog yang terbuka, serta sikap rela berkorban demi kebaikan bersama. Oleh sebab itu, nilai-nilai luhur yang tercermin dalam peristiwa kurban hendaknya ditanamkan dalam praktik politik bangsa, mulai dari lingkungan keluarga hingga sistem pemerintahan, agar demokrasi yang tumbuh tidak hanya diakui secara hukum, praktik tersebut seharusnya juga mencerminkan integritas moral dan nilai-nilai spiritual yang menjadi landasan kehidupan berbangsa.