
Mendampingi Tanpa Menghakimi - Bekal Psikologis untuk Satgas Anti Kekerasan Seksual
Sragen, kab-sragen.kpu.go.id – KPU Kabupaten Sragen mengikuti Rapat Pembekalan Satuan Tugas dan Jaring Anti Kekerasan Seksual di lingkungan KPU Provinsi serta Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah, yang diselenggarakan secara daring melalui zoom meeting pada Rabu (08/10/2025). Kegiatan ini membahas penanganan tahap awal secara psikologis bagi korban kekerasan seksual.
Hadir sebagai narasumber, Indradiyahningrum, S.Psi., anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Provinsi Jawa Tengah. Kegiatan dibuka oleh anggota KPU Jawa Tengah, Muslim Aisha, dan dilanjutkan dengan pengarahan dari Mey Nurlela, anggota KPU Jawa Tengah sekaligus ketua Satuan Tugas Pencegahan Kekerasan Seksual KPU Provinsi Jawa Tengah.
Dalam pengarahannya, Mey Nurlela menekankan pentingnya pembekalan ini untuk meningkatkan kapasitas dan pemahaman petugas Jaring Anti Kekerasan Seksual di lingkungan KPU dalam memberikan pendampingan psikologis awal kepada korban kekerasan seksual.
Indradiyahningrum, dalam pemaparannya antara lain menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual dapat mengalami dampak yang kompleks, mencakup aspek psikologis, sosial, kognitif, dan neurologis. Dampak psikologis jangka pendek meliputi rasa takut yang intens, perubahan perilaku menjadi pendiam atau menarik diri, bahkan dalam kasus ekstrem, korban bisa pingsan hanya karena mendengar tawa teman atau melakukan self-harm sebagai pelampiasan emosi.
Dampak jangka panjang dapat mencakup stres psikologis yang menetap hingga puluhan tahun, depresi, kecemasan, rasa tidak berdaya, penyalahgunaan zat, apatis, serta penurunan penilaian diri. Secara sosial, korban bisa mengalami kesulitan belajar, rasa rendah diri, kecenderungan kriminalitas di masa dewasa, hingga keinginan untuk bunuh diri. Beberapa korban juga melarikan diri ke seks bebas atau penyalahgunaan narkotika.
Dari sisi kognitif, korban kerap dihantui trauma, mimpi buruk, ingatan yang muncul tiba-tiba, kewaspadaan berlebih, serta kecenderungan menyalahkan diri sendiri—termasuk menginternalisasi stigma negatif seperti anggapan bahwa perempuan adalah “penggoda” atau “kotor”.
Sementara itu, dampak neurologis mencakup penurunan kemampuan respons otomatis dan konsentrasi, serta risiko mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Indradiyahningrum juga memaparkan peran strategis Satgas sebagai pendamping korban, antara lain: memberikan perlindungan hukum, memastikan korban aman dari intimidasi selama proses hukum, mendampingi sejak pelaporan hingga persidangan, membantu korban menyampaikan keterangan dengan tenang, serta menjadi penghubung antara korban, penegak hukum, dan keluarga.
Pendamping juga perlu memberikan dukungan psikologis tanpa menghakimi, membantu korban mengatasi trauma dan kecemasan, serta mengidentifikasi kebutuhan psikologisnya. Ia menegaskan bahwa pendamping bukanlah penyelamat, melainkan penyerta yang hadir secara tulus dan ikhlas, menciptakan ruang aman, nyaman, dan terbuka. Pendamping harus siap mendengarkan untuk memahami, bukan untuk menilai. [A]