
Al-Amin di Era Demokrasi: Refleksi Maulid Nabi untuk Penyelenggara Pemilu
Peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ setiap tahun tidak hanya dapat dimaknai sebagai tradisi keagamaan yang bersifat ritualistik, tetapi juga sebagai momentum spiritual untuk merefleksikan dan menghidupkan kembali keteladanan Rasulullah. Ajaran-ajaran yang beliau wariskan, seperti amanah, kejujuran, keadilan, serta semangat pelayanan kepada umat, sejatinya merupakan fondasi moral yang sangat penting untuk mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks demokrasi kontemporer, nilai-nilai tersebut menemukan relevansinya secara nyata dalam praktik penyelenggaraan Pemilu yang menjunjung tinggi integritas.
Di sisi lain, landasan normatif mengenai prinsip integritas penyelenggara Pemilu telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Regulasi ini, khususnya Pasal 3, memuat asas-asas fundamental seperti independensi, imparsialitas, kepastian hukum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi. Apabila dikaji lebih mendalam, prinsip-prinsip ini sejatinya merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai universal yang telah dipraktikkan Nabi Muhammad ﷺ dalam membangun tatanan sosial-politik di masyarakat Arab pada zamannya.
Dengan demikian, perayaan Maulid Nabi tidak hanya layak dipahami sebagai peringatan kelahiran seorang tokoh agung, tetapi juga sebagai panggilan moral bagi umat Islam, khususnya penyelenggara Pemilu, untuk meneladani spirit kepemimpinan Rasulullah. Menjalankan amanah demokrasi modern dengan berpegang pada kejujuran, keadilan, dan akuntabilitas publik sesungguhnya adalah wujud nyata membumikan nilai-nilai kenabian dalam kehidupan politik masa kini.
AMANAH SEBAGAI FONDASI DEMOKRASI
Sejak usia muda, Nabi Muhammad ﷺ telah dikenal luas sebagai pribadi yang dapat dipercaya. Julukan Al-Amin yang disematkan masyarakat Quraisy lahir dari konsistensinya menjaga amanah, sekecil apa pun bentuknya. Reputasi itu menjadi bukti bahwa integritas bukan hanya nilai pribadi, melainkan juga modal sosial yang menopang legitimasi seorang pemimpin.
Dalam konteks kepemiluan, konsep amanah tersebut menemukan makna yang sangat relevan. Suara rakyat adalah hak konstitusional yang bersifat sakral, sehingga penyelenggara Pemilu memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memastikan suara itu tidak dikorupsi oleh praktik kecurangan ataupun penyalahgunaan wewenang.
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 58, yang memerintahkan agar amanah disampaikan kepada yang berhak serta keadilan ditegakkan tanpa diskriminasi. Ayat ini menegaskan prinsip universal: setiap individu yang menerima kepercayaan, baik dalam ranah politik maupun sosial, wajib menjaga integritasnya.
Sebagaimana dikemukakan Jimly Asshiddiqie (2006), demokrasi tidak hanya bertumpu pada perangkat hukum formal, melainkan juga membutuhkan constitutional morality, yakni moralitas konstitusi yang berakar pada nilai amanah dan rasa tanggung jawab. Bila amanah diabaikan, kepercayaan masyarakat akan runtuh, dan Pemilu kehilangan makna sebagai instrumen kedaulatan rakyat.
KEJUJURAN SEBAGAI PILAR INTEGRITAS
Sifat siddiq atau kejujuran merupakan karakter utama Nabi Muhammad ﷺ yang menjadikan masyarakat menaruh kepercayaan penuh kepadanya, bahkan sebelum masa kenabian. Kejujuran tersebut menjadi modal sosial yang mengangkat kedudukan beliau di tengah komunitas Makkah, sekaligus memperlihatkan bahwa reputasi seorang pemimpin berawal dari integritas personal.
Dalam penyelenggaraan Pemilu, kejujuran bukanlah sekadar nilai tambahan, melainkan syarat utama untuk menegakkan integritas. Tanpa kejujuran, semua prinsip kepemiluan akan kehilangan makna substantif dan hanya tersisa sebagai formalitas administratif. Karena itu, KPU melalui Keputusan KPU RI Nomor 31/PP.06-Kpt/06/KPU/I/2019 menekankan dalam Kode Etik Penyelenggara Pemilu bahwa setiap tahapan harus dijalankan berdasarkan kebenaran, keadilan, dan integritas.
Pakar politik Syamsuddin Haris (2014) mengingatkan bahwa demokrasi yang hanya berhenti pada tataran prosedural tanpa disertai kejujuran akan melahirkan pseudo democracy, yakni demokrasi semu yang kehilangan substansi dan legitimasi. Dengan demikian, kejujuran adalah roh dari integritas penyelenggara Pemilu. Jika nilai ini ditegakkan, kepercayaan rakyat akan menguat, dan demokrasi akan berfungsi sebagaimana mestinya: melindungi hak, suara, dan kedaulatan rakyat.
KEADILAN SEBAGAI PRINSIP UNIVERSAL
Salah satu keteladanan terbesar Rasulullah ﷺ adalah konsistensinya dalam menegakkan keadilan, bahkan ketika itu menyangkut keluarganya sendiri. Dalam hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim, beliau menegaskan: “Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku yang akan memotong tangannya.” Pesan moral yang terkandung jelas: hukum tidak boleh tunduk pada kepentingan pribadi atau golongan, dan keadilan harus ditegakkan secara objektif.
Demikian pula dalam konteks demokrasi modern. Konstitusi Indonesia melalui Pasal 22E UUD NRI 1945 telah menetapkan asas luber jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) sebagai roh penyelenggaraan Pemilu. Prinsip keadilan mengharuskan penyelenggara untuk netral, tidak diskriminatif, serta memberi kesempatan setara kepada semua kontestan politik.
Miriam Budiardjo (2008) menegaskan bahwa keadilan merupakan syarat pokok legitimasi politik. Tanpa adanya fairness, Pemilu akan berubah menjadi kontestasi timpang yang justru merusak esensi kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, penyelenggara Pemilu dituntut meneladani keteguhan Nabi dalam menegakkan keadilan secara universal, tanpa pandang bulu.
ETIKA PELAYANAN PUBLIK: MENELADANI KEPEMIMPINAN NABI
Rasulullah ﷺ adalah contoh nyata pemimpin yang berorientasi pada pelayanan, bukan pada privilese kekuasaan. Beliau hidup sederhana, dekat dengan rakyat, serta selalu mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi. Model kepemimpinan semacam ini memberi pelajaran bahwa esensi kekuasaan adalah melayani, bukan dilayani.
Prinsip tersebut sangat relevan bagi penyelenggara Pemilu. Melalui PKPU Nomor 7 Tahun 2024 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Serentak, ditegaskan bahwa setiap pemilih, tanpa terkecuali, harus mendapatkan pelayanan yang setara. Hal ini mencakup pemilih pemula, penyandang disabilitas, maupun kelompok rentan lainnya.
Amartya Sen (1999) menyatakan bahwa demokrasi hanya akan bermakna jika rakyat diperlakukan sebagai subjek yang aktif, bukan sekadar objek kebijakan. Dengan meneladani etika kepemimpinan Nabi, penyelenggara Pemilu dapat menjadikan pelayanan publik sebagai inti dari mandat konstitusionalnya, sehingga demokrasi benar-benar hadir untuk rakyat.
AKUNTABILITAS MORAL DAN SPIRITUAL
Integritas seorang pemimpin, termasuk penyelenggara Pemilu, tidak bisa diukur hanya dari kepatuhan terhadap aturan administratif. Lebih dari itu, ia ditopang oleh akuntabilitas moral dan kesadaran spiritual. Rasulullah ﷺ selalu mengingatkan bahwa setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam ranah kepemiluan, kesadaran ini berarti bahwa setiap keputusan penyelenggara kecil ataupun besar akan berpengaruh langsung terhadap kualitas demokrasi dan legitimasi negara. Robert Dahl (1989) menekankan bahwa legitimasi demokrasi tidak hanya bergantung pada kerangka hukum formal, tetapi juga pada kepercayaan publik terhadap integritas penyelenggaranya.
Dengan keyakinan bahwa Allah senantiasa menjadi saksi atas setiap tindakan, akuntabilitas moral harus menjadi nafas dalam setiap kebijakan kepemiluan. Pemilu yang dijalankan dengan landasan spiritualitas seperti ini tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga bermartabat di mata rakyat dan berharga di hadapan Tuhan.
PENUTUP
Peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ merupakan momen penting untuk meneguhkan kembali teladan akhlak beliau dalam praktik kebangsaan. Nilai-nilai amanah, kejujuran, keadilan, pelayanan publik, serta akuntabilitas yang diwariskan Nabi sejalan dengan prinsip dasar demokrasi dan regulasi kepemiluan di Indonesia.
Apabila penyelenggara Pemilu mampu menginternalisasi nilai-nilai tersebut, maka tugas mereka tidak sekadar menjalankan prosedur hukum, tetapi juga mencerminkan tanggung jawab moral dan spiritual. Dengan cara itu, suara rakyat benar-benar terjaga sebagai amanah konstitusional yang harus dilindungi dengan penuh keadilan dan integritas.
Akhirnya, Maulid Nabi bukan hanya peringatan sejarah kelahiran Rasulullah, melainkan refleksi kebangsaan yang mengingatkan kita bahwa demokrasi sejati hanya dapat terwujud melalui penyelenggara Pemilu yang berintegritas. Jalan inilah yang akan mengantar Indonesia menuju kedaulatan rakyat yang adil, bermartabat, dan beradab, selaras dengan cita-cita bangsa serta tuntunan Rasulullah ﷺ.