PEMILU SEBAGAI JALAN MENUJU DEMOKRASI SUBSTANTIF: Menjaga Janji Kemerdekaan Melalui Integritas Penyelenggaraan
Tujuh puluh delapan tahun lalu bangsa ini memproklamasikan kemerdekaan, dan sebentar lagi Indonesia akan memasuki delapan dekade merdeka. Delapan puluh tahun adalah usia matang untuk refleksi: sejauh mana janji kemerdekaan telah diwujudkan? Apakah kemerdekaan sekadar lepas dari penjajahan, atau sudah menghadirkan keadilan sosial, pendidikan yang layak, dan kesejahteraan bagi semua? Refleksi ini menegaskan bahwa demokrasi bukan tujuan akhir, tetapi alat untuk memperjuangkan cita-cita kemerdekaan.
Dalam konteks itu, pemilu hadir bukan sekadar seremoni lima tahunan untuk memilih pemimpin, melainkan mekanisme agar kedaulatan rakyat berjalan nyata. Pemilu memungkinkan rakyat menggunakan hak konstitusionalnya, memastikan arah negara sesuai aspirasi bersama. Namun pemilu tidak berlangsung sendirinya; ia harus dijaga, dikelola, dan diselenggarakan dengan integritas.
Di sinilah peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi strategis. KPU bukan bagian dari kompetisi politik, melainkan wasit yang memastikan semua peserta memiliki kesempatan setara dan setiap suara dihitung dengan benar. Tanpa penyelenggara berintegritas, janji demokrasi akan kehilangan makna (Smith, 2021).
Pemilu: Lebih Dari Sekadar Menang-Kalah
Secara normatif, UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) menegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang. Pemilu menjadi wujud langsung dari prinsip itu. Namun tujuan akhirnya bukan sekadar menghasilkan pemenang, melainkan melahirkan pemimpin sah secara politik dan konstitusional, yang dapat merumuskan kebijakan berorientasi pada kesejahteraan rakyat (Accardi, 2018).
KPU memang fokus pada proses: memastikan daftar pemilih akurat, kampanye tertib, logistik aman, hingga penghitungan suara transparan. Namun pemilu yang terjaga kualitasnya melahirkan ruang demokrasi sehat dari sinilah kebijakan publik berpihak pada rakyat. Pemilu berintegritas adalah prasyarat demokrasi substantif.
Menjawab Tantangan Pemilu Di Era Digital
Era digital membawa peluang dan ancaman sekaligus. Di satu sisi, teknologi mendorong transparansi melalui rekapitulasi elektronik dan akses informasi cepat. Di sisi lain, disinformasi dan politik uang menemukan cara baru merusak kualitas demokrasi. Dalam tekanan ini, KPU terus memperkuat regulasi, meningkatkan literasi pemilih, dan memastikan pemilu tetap menjadi sarana rakyat menyalurkan hak konstitusional (UU No. 7 Tahun 2017).
Namun tanggung jawab mewujudkan kesejahteraan tidak berada di pundak penyelenggara pemilu semata. KPU menjaga “pintu masuk demokrasi,” sementara yang mengelola “ruang kebijakan” adalah pemerintah dan legislatif yang dipilih rakyat. Kritik terhadap ketimpangan sosial seharusnya diarahkan pada aktor kebijakan, bukan mekanisme pemilu itu sendiri.
Dari Legitimasi Prosedural Ke Substantif
Accardi (2018) menegaskan demokrasi modern harus bergerak dari legitimasi prosedural sekadar menang sesuai aturan—menuju legitimasi substantif, yakni pemimpin yang mampu menyejahterakan rakyat. KPU memastikan legitimasi prosedural terjaga. Dengan pemilu yang kredibel, rakyat dapat menilai dan memilih pemimpin dengan informasi utuh, bukan lewat politik transaksional atau manipulasi opini.
Memperkuat pemilu berarti memperkuat demokrasi, sekaligus fondasi kesejahteraan rakyat. Pemilu bersih adalah titik awal, bukan akhir. Dari sinilah janji kemerdekaan kemerdekaan yang menghadirkan keadilan sosial terus diperjuangkan.
Kepercayaan Publik: Modal Demokrasi
Kepercayaan publik terhadap pemilu adalah modal sosial yang tak ternilai. Tanpa kepercayaan, hasil pemilu diragukan, demokrasi terguncang, dan stabilitas politik terancam. KPU membangun kepercayaan ini lewat transparansi informasi, partisipasi publik, serta pengawasan ketat di setiap tahapan (Smith, 2021).
Jika ada kegelisahan apakah pemilu membawa kesejahteraan, itu kritik sehat yang harus diarahkan pada sistem politik secara keseluruhan. Namun satu fakta penting: tanpa pemilu berintegritas, pintu menuju demokrasi substantif tertutup rapat. KPU menjadi garda terdepan menjaga janji kemerdekaan agar suara rakyat benar-benar dihormati dan menjadi dasar kebijakan publik yang adil.
Refleksi Kemerdekaan 80 Tahun
Memasuki usia 80 tahun kemerdekaan, bangsa ini dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana mengawal demokrasi agar tidak sekadar prosedural, tetapi substantif? Pemilu yang bersih bukan hanya soal legitimasi politik, tetapi juga wujud penghormatan terhadap pengorbanan para pendiri bangsa. Mereka memperjuangkan kemerdekaan agar rakyat berdaulat, bukan sekadar agar kursi kekuasaan berpindah tangan. Momentum delapan dekade merdeka adalah saat yang tepat untuk menegaskan kembali: menjaga integritas pemilu sama dengan menjaga janji kemerdekaan itu sendiri.
Kesimpulan: Pemilu Sebagai Pilar Janji Kemerdekaan
Pemilu bukan ritual lima tahunan, melainkan fondasi demokrasi. Melalui kerja KPU yang independen, profesional, dan transparan, bangsa ini memiliki jaminan setiap suara dihitung dan setiap warga diperlakukan setara. Namun kesejahteraan rakyat tidak otomatis hadir hanya karena pemilu terlaksana dengan baik dibutuhkan komitmen penuh pemimpin terpilih dan partai politik untuk menerjemahkan mandat rakyat menjadi kebijakan nyata.
Karena itu, kritik terhadap demokrasi harus diarahkan untuk memperkuat sistem, bukan melemahkan institusi penyelenggara. KPU berdiri di garda depan memastikan janji kemerdekaan tidak dikhianati. Hanya dengan pemilu berintegritas, bangsa ini dapat melangkah menuju demokrasi yang benar-benar substantif, bukan sekadar prosedural (Accardi, 2018; Smith, 2021).